Dengan alasan budaya yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran Indonesia, beberapa pihak yang kontra menolak dengan keras pelaksanaan konser ini di Indonesia. Penolakan itu ditanggapi secara ‘keras’ dari pihak yang pro. Pro-kontra ini kemudian memanas dan tidak henti-hentinya memenuhi pemberitaan berbagai media baik cetak, televisi, maupun internet, menggusur isu-isu seperti korupsi, dan bencana alam. Berbagai isu lain tiba-tiba dengan sendirinya menjadi jauh lebih ‘sepele’ daripada kontroversi konser Lady Gaga. Mungkin kali ini saya tidak akan menyampaikan pendapat tentang boleh atau tidaknya rencana konser Lady Gaga dilanjutkan, karena saya justru lebih tertarik dengan sesuatu yang ada di balik ‘bola panas’ pro-kontra itu sendiri, dan hubungannya dengan moral demokrasi yang dibawa oleh reformasi tadi.
Panasnya kontroversi di kalangan masyarakat membuat saya merasa bahwa terlepas dari apakah seharusnya atau tidak seharusnya pihak penyelenggara melanjutkan rencana konser Lady Gaga di Indonesia, ada hal lain yang juga tidak kalah penting untuk diperhatikan terutama bagi masyarakat Indonesia secara umum, yaitu NKRI itu sendiri. Jangan-jangan, tercapainya keinginan salah satu kelompok (entah yang pro ataupun yang kontra) harus dibayar mahal dengan hilangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sampai saat ini, saya sendiri melihat polemik yang terjadi sudah cukup keterlaluan. Di satu sisi, penolakan pihak kontra dianggap kelewatan, apalagi dengan isu-isu bahwa salah satu pihak kontra konser Lady Gaga akan membeli ratusan tiket untuk menghentikan langsung konser itu “dari dalam”, yang tentu saja dikhawatirkan akan berakhir kekerasan. Tetapi kemudian di sisi lain, beberapa pihak pro konser Lady Gaga yang menganggap mereka keterlaluan ternyata juga kurang bisa menahan diri untuk tidak melakukan bentuk kekerasan yang lain seperti komentar-komentar di dunia maya yang sangat terlihat, maaf, kurang pantas.
Pada akhirnya toh para pengambil keputusanlah yang bisa memutuskan bagaimana keberlanjutan konser yang diributkan banyak pihak ini. Sebagai masyarakat, entah atas nama individu maupun kelompok tertentu, yang bisa kita lakukan hanya mempengaruhi keputusan itu. Dengan apa? Entahlah, yang pasti bukan dengan kekerasan atau menghujat keyakinan pihak-pihak tertentu. Selain tidak etis dan justru memperburuk citra kita sendiri, apalagi jika yang dihujat “hanya” pihak yang tidak punya kewenangan mengambil keputusan. Menghujat apalagi perilaku kekerasan tentu saja sangat tidak efektif dan hanya memunculkan masalah baru yang bisa jadi jauh lebih besar. Saya tidak sedang menganggap bahwa para pihak yang pro maupun kontra itu salah, tetapi saya hanya sedang menyesali beberapa hal dari cara-cara yang dilakukan pihak-pihak tersebut untuk menyampaikan pendapatnya yang menurut saya salah, dan sayangnya sangat tidak strategis, tidak efektif, sekaligus tidak efisien.
Sehingga kemudian, pemerintah sebagai pengambil keputusan menjadi pihak yang paling tepat dalam menyelesaikan hal ini. Penyelesaian tersebut tentu saja harus diambil dengan bijak dan mempertimbangkan banyak hal termasuk penyesuaian dengan nilai-nilai dan norma-norma hukum untuk menyelesaikan polemik ini. Lalu kemudian dengan tegas memastikan bahwa keputusan yang ada akan dipatuhi oleh semua pihak entah yang merasa diuntungkan maupun dirugikan. Lalu sebagai masyarakat, setelah usaha yang “sopan” untuk mempengaruhi keputusan pemerintah tentu saja, kita harus mendukung atau setidaknya menghormati keputusan tersebut.
Mungkin 14 tahun masih terlalu singkat dan membuat kita sebagai bangsa Indonesia masih harus banyak belajar. Bukan hanya belajar tentang hak apa yang dapat kita tuntut dan akan kita dapatkan dalam demokrasi, tetapi juga belajar mengenai moral, mengenai kewajiban yang harus kita lakukan untuk menjaga demokrasi ini tetap berjalan sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, kita harus sadar bahwa kebebasan berpendapat dalam demokrasi bukan semata-mata kebebasan sekelompok pihak untuk melakukan apa yang ingin dilakukannya, karena Indonesia tidak berdiri di atas kepentingan satu golongan, sehingga perlu disadari bahwa kebebasan berpendapat juga berarti ada kelompok lain yang juga “bebas berpendapat” dan karenanya harus ada kemauan dari masing-masing golongan untuk saling menghormati.
Bukankah dari dulu, yang namanya “Bhinneka Tunggal Ika” itu selalu berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua,” bukan “berbeda-beda dan harus ngotot dengan kepentingan masing-masing?” Atau mungkin sudah berubah? Entahlah, saya harap tidak.
Shofi Nurul Himmah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
Anggota Departemen Kebijakan Publik BEM KM Universitas Airlangga
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar